Menemukan Konsep Pasadena dalam Diri Orang Buna’, Ini yang Dilakukan Unisap dan Dr. Bele Antonius

Dunia yang ditimpa malapetaka saat ini karena terutama oleh pengingkaran atas kesadaran spiritual capital dalam diri manusia itu sendiri.

Mini Hall Universitas San Pedro (Unisap) Kupang, Sabtu (24/6/2017), menjadi sebuah arena ilmiah untuk ‘menjelajahi’ keunikan Suku Buna’ dan kearifannya untuk negeri.

Di ruangan yang ‘bersampulkan’ gambar-gambar Vatikan ini, Yohanes Paulus S Bataona, S.Fil, memoderatori seminar membahas “Nurani Orang Buna’ Spiritual Capital dalam Pembangunan (Kwadran Bele).”

Tampil sebagai pembicara adalah Dr. Bele Antonius, M.Si, dan Dr. Frederich Duka dari Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang sebagai pembedah.

Suku Buna’. Mereka kurang dikenal. Jumlahnya sekitar 60-an ribu orang (30 ribu orang tinggal di pedalaman Timor Leste, 30 ribu orang lainnya di Kabupaten Belu).

Suku ini unik. Bahasanya sederhana. Sudah lebih dari 100 tahun leluhur suku ini berkenalan dengan agama Kristen Katolik. Dan, secara statistik, mereka 100 persen pemeluk agama Katolik.

Meski sudah menganut agama Katolik, suku ini tetap menjalankan ritus-ritus agama asli mereka, agama Hot Esen. Alasannya sederhana, ritus agama asli itu adat warisan leluhur. Tidak bisa ditinggalkan.

Pertanyaan yang terngiang, apakah suku Buna’ ini mempunyai spiritual capital? Para ahli dari Kelompok Pasadena di Amerika Serikat menyebut spiritual capital sebagai kekuatan, pengaruh dan keadaan yang diciptakan oleh kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani dari seseorang atau suatu organisasi.

Bele Antonius, penulis buku Nurani Orang Buna’, menyebut spiritual capital yang dimiliki masayarakat Suku Buna’ bersumber pada keyakinan adanya diri manusia sebagai titisan leluhur. Semua perilaku manusia Suku Buna’ dikendalikan oleh kesadaran akan hadirnya leluhur, roh-roh dan Hot Esen.

Atas dasar kesadaran inilah seorang Buna’ menggarap dan menjaga alam sekitar (material capital). Menaati norma-norma dan melaksanakan berbagai kearifan lokal (intellectual capital). Menjalin hubungan dengan sesama (social capital).

Manusia yang mempunyai empat capital dalam dirinya, material capital, intellectual capital, social capital dan spiritual capital menjadi semakin manusiawi sejauh mengaktualisasikan keempat capital itu secara berimbang.

Manusia semakin manusiawi sejauh mewujudkan diri dalam hidup sehari-hari sebagai manusia yang mengasihi sesama dan menghargai alam sekitar dan menyembah roh Yang Mutlak sebagai asal dan tujuan dari manusia itu sendiri.

Pada hekekatnya, kata Anton, manusia terdiri dari 4N (nafsu, nalar, naluri, nurani/kwadran Bele). Ini modal dalam diri manusia. Modal muncul dari empat unsur ini.

Pertama, material capital (nafsu). Mendorong manusia untuk terus berubah, menata dunia jasmani mulai dari diri sendiri. Bumi yang adalah materi ini berada dalam kuasa manusia untuk diolah menjadi kesejahteraan bersama. Bukan digarap dengan cara yang serakah demi kepentingan segelintir orang.

Kedua, intelectual capital (nalar). Kemampuan berpikir, berkata, berbuat (mengingat, merancang, menetapkan). Memampukan manusia untuk menemukan hal-hal baru dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

Manusia tidak diperkenankan menemukan dan menggunakan hasil rekayasa nalar manusia untuk memusnahkan diri sendiri.

Ketiga, social capital (naluri). Dorongan untuk hidup bersama, membangun bersama dalam ikatan persaudaraan. Pemusnahan sesama manusia atas nama suku, agama, ras, merupakan tragedi zaman ini yang harus dihentikan.

Keempat, spiritual capital (nurani). Mendorong manusia untuk menjadi semakin manusiawi baik sebagai pribadi maupun bersama.

“Ketimpangan yang terjadi selama ini karena kita memgutamakan salah satu unsur lalu mempersempit yang lain. Misalnya, mengutamakan nafsu mempersempit ruang nalar, naluri, nurani. Maka terjadilah kasus seperti korupsi, SPPD fiktif dan sebagainya,” ujar Anton.

Tentang penggunaan Kwadran Bele, Anton menyebutnya sebagai pertanggungjawaban ilmiah untuk memudahkan orang mengukur maju mundurnya, baik buruknya proses dan hasil pembangunan.

Disebut kwadran karena gambar kwadran yang dipakai untuk menampilkan bidang-bidang kekuatan dan kelemahan capital yang dididayagunakan manusia dalam pembangunan. “Jadi, jangan dipaksanakan. Forum ini untuk menyempurnakannya,” terang Anton.

Anton mengilustrasikan pemahaman tentang pembangunan atau pengembangan masyarakat ini sejalan dengan pembahasan tentang empat capital dalam diri manusia dan masyarakat sebagai empat kaki dari ‘meja pembangunan.’ Jika salah satu kaki meja itu miring atau patah, meja tidak seimbang lagi.

Pembangunan pun kalau tidak didasarkan pada empat capital, pembangunan itu akan pincang dan tidak memenuhi sasaran. Akan berlaku teori domino, kehancuran demi kehancuran akan terjadi, baik kehancuran alam maupun budaya, akhirnya kehancuran umat manusia itu sendiri.

“Upaya penyelamatan harus muncul dari diri sendiri,” tegasnya.

Anton menyebut perilaku menyimpang yang diperankan secara jamak sekarang ini seperti mencuri, korupsi, teror, merusak hutan, etos kerja yang lemah, tidak menghargai sesama, lemahnya solidaritas adalah akibat melemahnya spiritual capital itu.

Pembedah, Dr. Frederich Duka menyebut Dr. Bele Antonius telah mengatakan injil dari Buna’ dan merekomendasikan buku ini untuk dibaca karena memuat ide-ide penting dan visioner untuk memelihara nilai-nilai budaya.

Meski demikian, Frederich khawatir bisa saja atas nama spiritual modal orang berbuat sesuatu untuk menguntungkan diri sendiri atau jatuh di tangan orang yang salah. “Ini sangat berbahaya karena menghancurkan pembangunan,” tegasnya.

Dia mencontohkan atas nama spiritual modal orang kerap berkolaborasi untuk saling menguntungkan. Misalnya, ada oknum tokoh-tokoh agama berziarah menggunakan tiket gratis yang disiapkan pemerintah, ada SPPD fiktif, dan ketimpangan lainnya.

Dia juga mengingatkan untuk tidak menjadi budak dari budaya, selain tidak meninggalkan budaya. Pun jangan mengagung- agungkan produk barat ketimbang lokal.

“Jadi, kita perlu belajar dari nurani masyarakat lokal. Di dalamnya ada energi positif untuk pembangunan,” terang Frederich.

Sebelumnya, ketika membuka seminar, Ketua Servas Mario Foundation, Servas Mario Patty, mengatakan, spiritual capital harus diberi tempat yang wajar jika pembangunan manusia berhasil dan bermanfaat.

“Dalam seluruh proses pembangunan, spiritual capital sangat penting untuk didayagunakan. Spiritual capital tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan erat dengan capital lainnya seperti material capital, intellectual capital dan social capital,” ucap Servas.

Dia mengapresiasi seminar ini digelar di Universitas San Pedro (Unisap) Kupang dalam rangka mendapatkan hak patent karya Dr. Bele Antonius dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Seminar ini dihadiri para mahasiswa/dosen Unisap, utusan mahasiswa/dosen dari perguruan tinggi mitra di Kupang.

Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Menemukan Konsep Pasadena dalam Diri Orang Buna’, Ini yang Dilakukan Unisap dan Dr. Bele Antonius, https://kupang.tribunnews.com/2017/06/28/menemukan-konsep-pasadena-dalam-diri-orang-buna-ini-yang-dilakukan-unisap-dan-dr-bele-antonius?page=4.
Penulis: Benny Dasman
Editor: Benny Dasman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *